Siti Partini, Suardiman (2011) UPACARA TARAPAN DALAM BUDAYA JAWA (SUATU KAJIAN PENDIDIKAN DALAM UOAYA PELESTARIAN KEARIFAN LOKAL). [Experiment/Research]
Text
Lap Tarapan fnl.docx Download (2MB) |
Abstract
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan upacara tarapan bagi anak perempuan yang menginjak masa remaja, yang ditandai oleh hadirnya haid atau menstruasi yang pertama. Upacara tarapan merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang perlu dikenali dan diambil manfaatnya, agar tidak punah begitu saja. Penelitian ini bertujuan untuk : (1). Mendeskripsikan konsep upacara tarapan. (2). Mendeskripsikan pelaksanaan upacara tarapan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa.(3). Mengkaji nilai pendidikan yang terdapat dalam upacara tarapan dalam budaya Jawa. Lokasi penelitian di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang merupakan pusat budaya Jawa. Subjek penelitian adalah mereka yang memahami berbagai upacara tradisional Jawa, sesepuh serta para pemerhati budaya dan tradisi Jawa..Pengumpulan data dilakukan dengan (1) dokumentasi dari naskah dan pustaka lama tentang budaya Jawa, (2) Hasil penelitian terdahulu; dan (3) wawancara. Uji keabsahan data dengan: perpanjangan waktu penelitian, triangulasi, dan pemeriksaan data deskriptif kepada informan yang kompeten. Teknik analisis meliputi 3 kegiatan utama :: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Hasil penelitian : 1. Upacara tarapan merupakan upacara inisiasi haid pertama bagi anak perempuan, seminggu setelah haid, anak disucikan dengan mandi ritual atau siraman. 2. Pelaksanaan upacara tarapan dilakukan sesuai dengan empat kelompok social, yaitu : (1) Golongan Bangsawan ; (2). Golongan rakyat biasa ; (3). Golongan Petani di Pedesaan Tepi Pantai; (4). Golongan Masyarakat Beragama Budha. Pelaksanaan upacara tarapan meliputi : (a) maksud dan tujuan; (b) pelaksanaan upacara tarapan; (c) persiapan dan perlengkapan upacara tarapan; (d). pantangan 3. Di dalam upacara tarapan terkandung butir-butir kearifan lokal yang bermuatan nilai pendidikan; bagi remaja, yaitu :(a).Seusai upacara siraman, dikenakan pakaian adat lengkap, diberi berbagai obat-obatan tradisional, berupa jamu mamahan dan jamu godhogan, menelan telur mentah, alas duduk saat siraman berasal dari dedaunan dan empon-empon, dimaksudkan untuk menjaga kesehatan, kebugaran, kecantikan, dan pendidikan perilaku hidup sehat. (b) Anak memahami kini ia sudah menjadi remaja : menjaga kebersihan, terutama menjaga agar darah yang keluar tidak pernah nampak oleh orang lain karena ketidak sempurnaan menjaganya. (c). Menyadarkan anak untuk menjaga kesuciannya, menjaga diri dari pergaulan lawan jenis, i perlu menyadari bahwa dirinya sudah matang secara seksual, artinya bila terjadi hubungan seksual tid ak mustahil terjadi kehamilan. Oleh karenanya anak perlu hati-hati dalam pergaulan dengan lawan jenis demi menjaga kesuciannya. (d). Kesadaran akan dirinya, bahwa dia bukan anak-anak lagi akan membawanya pada tutur kata dan tindaktanduk yang lebih dewasa, tidak kekanak-kkanakan lagi. (e) Pada saat menjalani pingitan, remaja mendapat pengalaman hidup mandiri, jauh dari orang tua, meski hanya untuk satu minggu, anak merenung, tunduk pada larangan dan aturan, mendapat nasehat dan bekal hidup bagi anak tarap mengenai tugas, kewajiban, pantangan, anjuran, yang harus dilakukan sesudah memasuki masa dewasa. Pantangan yang dijalani mengisyaratkan agar anak mengenal budaya hidup bersih, menjaga kesehatan, menjaga kesucian, sekarang sudah bukan anak-anak lagi, dan selalu ingat kepada Yang Maha Kuasa, belajar menghormati pendapat orang lain, tidak mementingkan diri sendiri. Bagi Orang Tua: (a). Menyadarkan para orang tua bahwa kini, putrinya sudah menginjak remaja. Orang tua perlu membekali puterinya tentang bagaimana mengelola saat haid tiba. Haid adalah gejala wajar bagi anak yang menandai anak memasuki masa remaja. Tanpa adanya upacara seperti yang sekarang terjadi, banyak orang tua yang tidak memahami bahwa puterinya sedang me,ghadapi datangnya haid, yang sering menimbulkan kegalauan atau stress bagi anak. Orang tua perlu menenangkan anak bahwa haid adalah gejala wajar bagi seorang gadis, bahkan tidak wajar jika tidak memperoleh haid. (b). Meningkatkan kepedulian orang tuanya akan keberadaan puterinya yang kini sudah menginjak masa remaja, yang menuntut pengawasan khusunya yang terkait dengan pergaulan dengan lawan jenis. (c). Jika masa lalu orang belum terlalu sibuk dengan pekerjaan, kini orang tua sangat sibuk, sehingga tidak mustahil masa peralihan yang sering menimbulkan stress pada anak kurang atau tidak mendapatkan perhatian sama sekali bagi orang tua, padahal saat-saat kritis anak sangat memerlukan pendampingan orang tuanya.
Item Type: | Experiment/Research |
---|---|
Additional Information: | Laporan Penelitian Fundamental 2011 |
Uncontrolled Keywords: | Upacara Tarapan; Budaya Jawa, Kearifan lokal. |
Subjects: | LPPM |
Divisions: | LPPM - Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat |
Depositing User: | LPPM UNY |
Date Deposited: | 21 Aug 2015 00:51 |
Last Modified: | 21 Aug 2015 00:51 |
URI: | http://eprints.uny.ac.id/id/eprint/25354 |
Actions (login required)
View Item |