DEMOKRATISASI ELIT LOKAL PADA PILKADAL 2006 DI KOTA YOGYAKARTA, PROPINSI DIY

Nasiwan, M.Si. (2007) DEMOKRATISASI ELIT LOKAL PADA PILKADAL 2006 DI KOTA YOGYAKARTA, PROPINSI DIY. [Experiment/Research]

[img]
Preview
Text
Nasiwan.pdf

Download (15kB) | Preview

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dan mem¬per¬oleh gambaran tentang kesadaran demokratisasi, kondisi atau feno¬me¬na yang menghambat demokratisasi, proses demokratisasi, fak¬tor-faktor yang mendukung dan menghambat proses demo¬kra¬ti¬sa¬si elit politik local, arah demokratisasi yang dilakukan elit lokal pada Pilkada langsung 2006 di Kota Yogyakarta serta adanya feno¬me¬na golput. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif analitis. Melalui pendekatan kualitatif tersebut dapat diperoleh pe¬ma¬haman dan penafsiran yang mendalam mengenai makna, kenya¬ta¬an, dan fakta yang relevan. Penelitian ini menggabungkan metode kepustakaan dan penelitian lapangan. Teknik analisis data yang digunakan adalah Flow Model dan Interactive Model. Setelah dilakukan analisis dan pembahasan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa; Pertama, sudah tumbuh adanya kesadaran pada elit lokal di Kota Yogyakarta untuk menghadirkan pelak¬sa¬naan pilkada yang demokratis dan adanya demokratisasi bagi ma¬sya¬rakat, walaupun masih mengalami hambatan-hambatan ketika dipraktekkan dalam kegiatan politik (Pilkada Walikota Yogykarta). Hambatan yang paling dominan adalah hambatan struktural, baik dari aturan pemerintah pusat maupun struktural dalam intern partai politik. Hambatan struktural dari internal partai politik yang menonjol adalah adanya intervensi dari pengurus partai di tingkat pusat (DPP) pada pengurus partai di tingkat cabang (DPC) dalam menentukan nominasi calon walikota. Intervensi yang dilakukan oleh DPP partai politik sampai pada taraf dibatalkannya calon yang semula sudah dinominasikan oleh pengurus cabang. Penentuan calon walikota secara sepihak oleh DPP sebuah partai politik telah menimbulkan dampak buruk yakni sikap apatis konstituen untuk memilih calon walikota yang diusulkan oleh DPP. Kondisi tersebut ikut membereikan kontribusi pada tingginya tingkat golput pada Pilkada Walikota Yogyakarta tahun 2006. Dari hasil pembahasan ditemukan bahwa elit politik yang terlibat dalam Pilkada langsung di Kota Yogyakarta memiliki kelemahan dalam melakukan komu¬ni¬kasi politik untuk melahirkan konsensus. Dalam konteks ini dapat dikemukakan bahwa diantara faktor penting yang mempengaruhi tertundanya Pilkada Kota Yogyakarta hingga empat bulan (yang semula dijadualkan bulan Juli dan baru terlaksana pada bulan November) adalah disebabkan oleh kelemahan yang ada pada eilit politik lokal Yogyakarta dalam membangun konsensus. Kelemahan dalam membangun konsensus politik dapat dibaca melalui berlarut-larutnya penentuan hari pencoblosan antara pihak Koalisi Merah Putih (KMP) dengan pihak Koalisi Rakyat Yogya (KRJ) disatu pihak dengan pihak KPUD Kota Yogyakarta. Kelemahan untuk membangun konsensus juga ditemukan di dalam internal partai politik dalam menentukan siapa calon walikota yang akan dipilih dari partai. Dalam konteksnya dengan Pilkada di Kota Yogyakarta terlihat dari tidak direstujinya calon walikota yang diajukan dari pengurus partai politik di pengurus cabang DIY oleh Dewan Pimpinan Partai (DPP) di Jakarta. Munculnya ketidak sepahaman antara pengurus partai di daerah dan di Jakarta, telah menjadi faktor penting yang menyebabkan mengapa pelaksanaan Pilkada Walikota Yogyakarta menjadi berlarut-larut. Kedua, proses demokratisasi elit lokal pada pilkada Kota Yogyakarta 2006 secara umum dinyatakan berjalan dengan damai dan mengalami kemajuan dari sisi kualitas. Secara umumn dapat dinyatakan bahwa para pihak yang ikut terlibat dalam proses Pilkada Kota Yogyakarta dapat mentaati aturan main uyang ditetapkan dalam undang-undang yang mengatur kegiatan Pilkada. Pelanggaran-penggaran yang banyak dilakukan oleh tim sukses calon walikota pada umumnya adalah pelangaran ringan yang tergolong pelanggaran administrasi, yang tidak memiliki pengaruh yang serius pada hasil Pilkada. Selama berlangsungnya proses Pilkada semenjak masa persiapan, masa kampanye, sampai hari pencoblosan tidak ditemukan pelanggaran yang bersifat pidana yang berakibat adanya korban nyawa ataupun berakibat dibatalkannya hasil Pilkada. Sekalipun ada perselisihan pada akhirnya dapat diselesaikan dengan cara damai dengan bantuan pihak keamanan dibantu kesiapan KPUD Kota Yogyakarta dalam mengantisipasi persoalan-persoalan yang muncul di lapangan. Ketiga, arah demokratisasi elit lokal Kota Yogyakarta pada Pilkada 2006 di satu sisi menghadapi kendala-kendala serius serta di sisi lain memiliki potensi untuk berkembang. Dari penelitian ini ditemukan bahwa masyarakat belum memiliki keberanian untuk mengungkap secara transparan berbagai penyimpangan terkait dengan pelaksanaan kampanye yang diindikasikasikan melibatkan politik uang. Karena tidak ada pihak dari masyarakat yang berani mengungkap adanya politik uang dalam kampanye Pilkada, maka secara formal di atas kertas Pilkada diakui syah tetapi dibawah permukaan masih ada aspirasi yang tidak tersampaikan. Hal tersebut dikuatkan dengan adanya protes dari salah satu saksi dari Koalisi Merah Putih (KMP) yang tidak bersedia menandatangani pengesahan hasil Pilkada Kota 2006. Diluar berbagai kendala sebagaimana telah dikemukakan demokratisasi elit di Kota Yogyakarta juga memiliki potensi untuk berkembang ke arah yang lebih baik. Potensi tersebut antara lain sikap untuk mau menghormati aturan main, adanya komitmen untuk melakukan Pilkada secara damai, tidak melakukan kampanye hitam, serta sikap elit politik lokal Yogyakarta yang secara umum memiliki sikap politik yang santun, memiliki kearifan lokal. Keempat, meningkatnya jumlah Golput yang mencapai 46,68 persen, sehingga jumlah warga kota yang menggunakan hak pilihnya hanya mencapai 190.922 orang (53,32 %) dari jumlah warga yang tercantum Daftar Pemilih Tetap (DPT), sisanya sebanyak 167.142 (46,68 %) orang tidak menggunakan hak pilih dalam Pilkada. Tingginya angka Golput pada Pilkada Walikota Yogyakarta 2006 disatu sisi dapat dibaca sebagai adanya kecenderungan tumbuhnya kesadaran kritis pada para pemilih di Kota Yogyakarta, dalam menentukan siapa Walikota yang sesuai dengan aspirasi mereka. Namun disisi yang lain juga dapat dibaca sebagai adanya problem mulai tumbuhnya gejala ketidakpercayaan (distrust) publik pemilih kepada elit politik lokal yang mencalonkan diri sebagai Walikota Yogyakarta. Kata-kata kunci: demokratisasi, elit lokal, pilkada kota Yogyakarta FISE, 2007 (PPKN)

Item Type: Experiment/Research
Subjects: Ilmu Sosial > Kewarganegaraan dan Hukum
Divisions: Fakultas Ilmu Sosial, Hukum dan Ilmu Politik (FISHIPOL) > Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum
Date Deposited: 24 Jul 2012 04:08
Last Modified: 02 Oct 2019 02:15
URI: http://eprints.uny.ac.id/id/eprint/2644

Actions (login required)

View Item View Item