@book{UNY50712, author = {Sudrajat Ajat}, title = {Agama dan Gerakan Protes Sosial : Pemikiran Teologi K.H. Ahmad Rifa'i}, address = {Yogyakarta}, year = {2010}, publisher = {MU3Yogyakarta}, abstract = {Sepanjang abad 19 dan bagian pertama abad 20, dikatakan Sartono Kartodirdjo, sejarah Indonesia ditandai oleh meledaknya gejolak atau protes sosial di kalangan pribumi secara silih berganti. Kesemuanya ini dapat dimaklumi sebagai akibat konflik yang terjadi antara rakyat dengan pemerintah kolonial. Pada abad ini, terutama setelah Perang Diponegoro tahun 1930-an, dilihatoleh M.C. Ricklef sebagai babak baru penjajahan yang sebenarnya terhadap tanah Jawa. Hal yang demikian terjadi karena sejak saat itu elit kerajaan mulai tergeser kedudukannya dari urusan-urusan politik. Sebagai gantinya residen-residen Belandalah yang mengendalikan kekuasaan. Dan pada saat yang bersamaan pemerintah kolonial Belanda memberlakukan sistem kulturstelsel atau tanam paksa dan kerja paksa yang sangat membebani rakyat. Tergesernya elit kerajaan dari urusan politik dengan sendirinya berarti hilangnya patronase kerajaan terhadap rakyatnya. Elit-elit kerajaan sudah kehilangan otoritasnya dalam bidang politik dan administrasi karena sudah digantikan oleh pemrintah kolonial dan juga elite daerah yang menjadi tangan panjang kolonial. Adanya kebijakan pemerintah kolonial yang merugikan rakyat, dengan sendirinya elite kerajaan tak bisa berbuat apapun. Oleh karena itu wajar apabila rakyat kemudian mencari perlindungan kepada tokoh-tokoh kharismatik di luar elite kerajaan ini, diantara mereka ini adalah para kyai dan ulama. Munculnya kepemimpinan ulama kelihatannya sebagai suatu alternatif yang tepat, karena ulama sebagai elite keagamaan biasanya dekat dengan rakyat dan punya kharisma sebagai pemimpin umat. Di samping itu pihak birokrat feodal atau tradisional sebagian besar berpihak kepada pemerintah kolonial. Karena itu dapat dipahami ketika pemerintah kolonial dibantu birolrasinya memberlakukan kebijakan yang merugikan rakyat, seperti sistem tanam paksa dan kerja paksa, maka kedudukan ulama di mata rakyatmenjadi semakin kuat. Ulama secara struktural memang terpisah dan tidak terorganisasi dalam masyarakat Jawa. Mereka menjauhkan diri kadang-kadang sangat kritis, terhadap pemerintah kolonial. Demikianlah dengan keberadaan K.H. Ahmad Rifai yang hidup antara tahun 1786-1870, di daerah Kalisalak, Kedungwuni, Pekalongan, merupakan sosok yang menggambarkan perlawanan rakyat terhadap pemerintah kolonial. Dan tulisan ini akan mengungkapkan ajaran-ajarannya yang berkaitan dengan gerakan protes sosial tersebut. Ebook dapat dibaca di http://library.fis.uny.ac.id/elibfis/index.php?p=show\_detail\&id=1791}, url = {http://eprints.uny.ac.id/50712/} }