@inproceedings{UNY1362, year = {2007}, publisher = {UNY}, author = {Venny Indria Ekowati}, title = {NOVEL TUNGGAK-TUNGGAK JATI STRATEGI MENCARI TITIK TEMU ETNIS JAWA-TIONGHOA: SEBUAH KAJIAN POSKOLONIAL }, booktitle = {Seminar Nasional Poskolonialisme dalam Sastra dan Budaya}, month = {December}, abstract = {Hubungan baik antara etnis Jawa dan Tionghoa mulai merosot pada sekitar awal abad ke-19 karena keterlibatan etnis Tionghoa dalam konflik internal kraton Keadaan ini diperparah dengan penerapan politik devide et impera yang diduga merupakan akar dari deskriminasi etnis Tionghoa di Indonesia. novel Tunggak-Tunggak Jati (TTJ) merupakan novel Jawa yag dalam struktur naratifnya berusaha membaurkan etnis Jawa-Tionghoa melalui proses asimilasi. Proses tersebut tergambar dalam jalan cerita serta penokohan yang digolongkan dalam dua generasi. Generasi pertama etnis Tionghoa dan etnis Jawa dalam novel ini masih mengusung stereotip etnis. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan kondisi riil di masyarakat tentang pandangan etnis Jawa kepada etnis Tionghoa dan sebaliknya. Generasi pertama ini dalam alur cerita berikutnya akan mendapatkan kesadaran-kesadaran bahwa stereotip yang selama ini sudah kekal dalam diri mereka sebagai bentuk mind set dapat berubah karena adanya penyadaran-penyadaran dari generasi kedua. Jika tidak mendapatkan penyadaran, maka orang-orang dari generasi pertama ini akan dihilangkan dalam cerita atau tampil sebagai orang-orang yang kalah. Generasi kedua dalam novel ini diisi oleh tokoh-tokoh yang merupakan anak dari generasi pertama. Tokoh-tokoh dari generasi kedua mempunyai cara pandang yang berbeda kepada masing-masing etnis. Stigma yang selama ini melekat pada pola pikir generasi pertama dikikis oleh para tokoh generasi kedua. Generasi ini lebih menghargai etnis yang lain, dan cenderung menganggap tidak ada satu etnis yang lebih tinggi kedudukan dan derajatnya daripada etnis yang lain. Novel Tunggak-Tunggak Jati merupakan novel yang memuat keinginan dan angan-angan kolektif etnis Jawa untuk menempatkan dirinya sejajar, bahkan lebih tinggi daripada etnis Tionghoa yang dalam ordonansi warisan kolonial berada satu tingkat lebih tinggi. TTJ juga mengisyaratkan pentingnya asimilasi dan pembauran antaretnis Jawa dan Tionghoa. Novel ini juga mengusung amanat bahwa pada generasi kedua (generasi penerus), sentimen antaretnis Jawa-Tionghoa tidak perlu terjadi lagi, kesejajaran antaretnis Jawa dan Tionghoa dapat selalu terpelihara sehingga tidak timbul deskriminasi-deskriminasi etnis yang merugikan berbagai pihak. }, url = {http://eprints.uny.ac.id/1362/} }